Thursday, November 17, 2011

sands in my ear

my new

Malam, kost
Belakangan ini aku benar-benar tak merasakan keheningan, secara harifiah. Kodok yang selalu mendengkur, sayap jangkrik yang bergesek, pesta kecil penghuni kamar atas. Dan setelah semua keramaian alam kembali sunyi, aku masih merasa sesuatu berderak di telinga. Bukan derakan sebenarnya seperti ranting yang kita injak, lebih mirip debur pasir yang ketika kau meraupnya kemudian menjatuhkannya kembali ke pasir lain di bawahnya. Atau mungkin seperti suara debur ombak atau pabrik, yang terdengar dari kejauhan. Suara-suara itu mengganguku, membuatku tak focus pada apapun. Seakan dunia memang tak pernah tak bersuara. Atau ada masalah dengan telingaku, secara harifiah. Tapi tetap saja, mala mini ku akhiri perjalanan ‘ngomik’ku dan beranjak menghamburkan tubuhku ke dalam selimut. Hangatnya dingin malam ini.

Esoknya…at campus
            “hai Syar!” sapa ku
            “hai Ya!” Syar satu-satunya teman yang setia menyapa ketika kami berpasan wajah.
            “hai adik-adiku” ku sapa Madya dan Dea tentu saja. Mereka bukan benar-benar adiku, hanya sedikit punya ikatan kuat. Sayang, kaka tertua kami belum muncul batang idungnya. Kami dan  36 mahasiswa lain dengan naas hanya punya kelas ukuran 20 orang di Akademi of Nursing di Bandung. Betapa suram hidung kami ketika pelajaran di mulai. Mencium 40 bau dengan kapasitas oksigen yang terrbatas. Mengejutkan karena 4 generasi senior kami hanya punya penduduk sekitar 25 orang. Mengejutkan lagi untuk para dosen, hingga dengan senang hati menyebut kami The Biggest Fam. Tapi sesaat lagi beban tubuh kami berebut oksigen segera tamat, kami smester akhir di perguruan ini.
            “kaka Aya mau ngikut? Ke RSHS? Mau responsi _istilah kami untuk laporan kasus pasien_ ke Bu Hera.” Itu kata Madya, si sistah. Beda lagi kata Dea.
            “gue pengen ketemu CI _Clinic Instruktur_ ruang Kana. Gila, suka bikin ngiler kalo ngahyalin b’liau.” Ck ck ck! kacang dia itu.
            “ga bole gitu. Response dulu, baru yang lain.” Eteh Dwi akhirnya datang juga. Dengan kopi paginya tentu saja. Di depan kerudungnya yang bergleber-gleber. Dia kakak tertua di kita. Setelahnya baru aku, kaka Aya. Kemudian madya sebagai sistah, adik hampir terakhir. Dan Dea si bungsu.
            “gini ya, gue punya rencana,” mulai Dea “RSHS bisa di jadiin ladang bisnis selama kita PKK di sana. Gue mau . . .
bssssz… bsszzz..
ehm ,haah. Ku korek-korek telinga, berharap ada batu atau burung mungkin, yang bisa  menghalangiku mendengar obrolan si bungsu. Ku pejamkan mata, penuh khidmat, seakan ini nafas terakhir yang ku hirup. Perasaan itu datang lagi, dimana aku mendengar dengan terbata-bata. Suara Dea bisa ku dengar, hanya saja tak focus.
“kain flannel…. ..favorit pasien anak….bisa di atur….”
Yang ku degar kini, deburan ombak kejauhan, gemerisik pasir, dan. . .semua padam!!!

No comments:

Post a Comment